Senin, 20 Februari 2012

Persahabatan Sunyi


 Cerita Pendek Harris Effendi Thahar

DI sebuah jembatan penyeberangan tak beratap, matahari menantang garang di langit Jakarta yang berselimut karbon dioksida. Orang-orang melintas dalam gegas bersimbah peluh diliputi lautan udara bermuatan asap knalpot. Lelaki setengah umur itu masih duduk di situ, bersandarkan pagar pipa-pipa besi, persis di tengah jembatan. Menekurkan kepala yang dibungkus topi pandan kumal serta tubuh dibalut busana serba dekil, tenggorok di atas lembaran kardus bekas air kemasan. Di depannya sebuah kaleng peot, nyaris kosong dari uang receh logam pecahan terkecil yang masih berlaku. Dan, di bawah jembatan, mengalir kendaraan bermotor dengan derasnya jika di persimpangan tak jauh dari jembatan itu berlampu hijau. Sebaliknya, arus lalu lintas itu mendadak sontak berdesakan bagai segerombolan domba yang terkejut oleh auman macan, ketika lampu tiba-tiba berwarna merah.

Lelaki setengah umur yang kelihatan cukup sehat itu akan "tutup praktik" ketika matahari mulai tergelincir ke Barat. Turun dengan langkah pasti menuju lekukan sungai hitam di pinggir jalan, mendapatkan gerobak dorong kecil beroda besi seukuran asbak. Dari dalam gerobak yang penuh dengan buntelan dan tas-tas berwarna seragam dengan dekil tubuhnya, ia mencari-cari botol plastik yang berisi air entah diambil dari mana, lalu meminumnya. Setelah itu ia bersiul beberapa kali. Seekor anjing betina kurus berwarna hitam muncul, mengendus-endus dan menggoyang-goyangkan ekornya. Ia siap berangkat, mendorong gerobak kecilnya melawan arus kendaraan, di pinggir kanan jalan. Anjing kurus itu melompat ke atas gerobak, tidur bagai anak balita yang merasa tenteram di dodong ayahnya.

Melintasi pangkalan parkir truk yang berjejer memenuhi trotoar, para pejalan kaki terpaksa melintas di atas aspal dengan perasaan waswas menghindari kendaraan yang melaju. Lelaki itu lewat begitu saja mendorong gerobak bermuatan anjing dan buntelan-buntelan kumal miliknya sambil mencari-cari puntung rokok yang masih berapi di pinggir jalan itu, lalu mengisapnya dengan santai. Orang-orang menghindarinya sambil menutup hidung ketika berpapasan di bagian jalan tanpa tersisa secuil pun pedestrian karena telah dicuri truk-truk itu.

Lelaki setengah umur itu memarkir gerobak kecilnya di bawah pokok akasia tak jauh setelah membelok ke kanan tanpa membangunkan anjing betina hitam kurus yang terlelap di atas buntelan-buntelan dalam gerobak itu. Ia menepi ke pinggir sungai yang penuh sampah plastik, lalu kencing begitu saja. Ia tersentak kaget ketika mendengar anjingnya terkaing. Seorang bocah perempuan ingusan yang memegang krincingan dari kumpulan tutup botol minuman telah melempari anjing itu. Lelaki itu berkacak pinggang, menatap bocah perempuan ingusan itu dengan tajam. Bocah perempuan ingusan itu balas menantang sambil juga berkacak pinggang. Anjing betina hitam kurus itu mengendus-endus di belakang tuannya, seperti minta pembelaan.
Lelaki itu kembali mendorong gerobak kecilnya dengan bunyi kricit- kricit roda besi kekurangan gemuk. Anjing betina kurus berwarna hitam itu kembali melompat ke atas gerobak, bergelung dalam posisi semula. Bocah perempuan yang memegang krincingan itu mengikuti dari belakang dalam jarak sepuluh meteran. Bayangan jalan layang tol dalam kota, melindungi tiga makhluk itu dari sengatan matahari. Sementara lalu lintas semakin padat, udara semakin pepat berdebu.

Tiba-tiba, lelaki setengah umur itu membelokkan gerobak kecilnya ke sebuah rumah makan yang sedang padat pengunjung. Dari jauh, seorang satpam mengacung-acungkan pentungannya tinggi-tinggi. Lelaki itu seperti tidak memedulikannya, terus saja mendorong hingga ke lapangan parkir sempit penuh mobil di depan restoran itu. Sepasang orang muda yang baru saja parkir hendak makan, kembali menutup pintu mobilnya sambil menutup hidung ketika lelaki itu menyorongkan gerobaknya ke dekat mobil sedan hitam itu. Seorang pelayan rumah makan itu berlari tergopoh- gopoh keluar, menyerahkan sekantong plastik makanan pada laki-laki itu sambil menghardik.
"Cepat pergi!"
LELAKI setengah umur itu menghentikan gerobak kecilnya di depan sebuah halte bus kota. Mengeluarkan beberapa koin untuk ditukarkan dengan beberapa batang rokok yang dijual oleh seorang penghuni tetap halte itu dengan gerobak jualannya. Orang-orang yang berdiri di dekat gerobak rokok itu menghindar tanpa peduli. Halte itu senantiasa ramai karena tak jauh dari situ ada satu jalur pintu keluar jalan tol yang menukik dan selalu sesak oleh mobil-mobil yang hendak keluar. Lelaki itu meneruskan perjalanannya menuju kolong penurunan jalan layang tol itu. Meski berpagar besi, telah lama ada bagian yang sengaja dibolongi oleh penghuni-penghuni kolong jalan layang itu untuk dijadikan pintu masuk. Tempat lelaki setengah umur itu di pojok yang rada gelap dan terlindung dari hujan dan panas. Dari dulu tempatnya di situ, tak ada yang berani mengusik. Kecuali beberapa kali ia diangkut oleh pasukan tramtib kota, lalu kemudian dilepas dan kembali lagi ke situ. Ia lalu membongkar isi gerobaknya, mengeluarkan lipatan kardus dan mengaturnya menjadi tikar. Anjing betina berwarna hitam kurus itu mengibas-ngibaskan ekornya ketika lelaki itu mengambil sebuah piring plastik dari dalam buntelan, lalu membagi makanan yang didapatnya dari rumah makan tadi. Keduanya makan dengan lahap tanpa menoleh kanan-kiri.

Bocah perempuan ingusan itu berdiri dari jauh di bawah kolong jalan layang itu, memandang dengan rasa lapar yang menyodok pada dua makhluk yang sedang asyik menikmati makan siang itu. Ia memberanikan dirinya menuju kedua makhluk itu, lalu bergabung makan dengan anjing betina berwarna hitam kurus itu. Ternyata anjing betina itu penakut. Ia menghindar dan makanan yang tinggal sedikit itu sepenuhnya dikuasai bocah perempuan itu dan ia melahapnya. Sedang lelaki setengah umur itu tidak peduli, meneruskan makannya hingga licin tandas dari daun pisang dan kertas coklat pembungkus. Mengeluarkan sebuah botol air kemasan berisi air, meminumnya separuh. Tanpa bicara apa- apa, bocah perempuan ingusan itu menyambar botol itu dan meminumnya juga hingga tandas. Lelaki setengah umur itu hanya memandang, sedikit terkejut, tapi tidak bicara apa-apa. Air mukanya tawar saja. Mengeluarkan rokok dan membakarnya sambil bersandar pada gerobak kecilnya. Tergeletak tidur setelah itu di atas bentangan kardus kumal.

MALAM telah larut. Bocah perempuan ingusan itu terbirit-birit dikejar gerimis yang mulai menghujan. Rambutnya yang nyaris gimbal itu kini melekat lurus-lurus di kulit kepalanya disiram gerimis. Bunyi krincingan dan kresek-kresek kantong plastik yang dibawanya membangunkan anjing betina kurus berwarna hitam itu. Ia menyalak sedikit, kemudian merungus setelah dilempari sepotong kue oleh bocah itu. Lewat penerangan jalan, samar- samar dilihatnya lekaki setengah umur itu tidur bergulung bagai angka lima di atas kardus. Setelah melahap kue, anjing itu kembali tidur di sebelah tuannya, di atas bentangan kardus yang tersisa.
Bocah itu mengeluarkan lilin dan korek api dari dalam kantong plastik. Berkali-kali menggoreskan korek api, padam lagi oleh tiupan angin bertempias. Lalu ia mendekat ke arah lelaki setengah umur itu agar lebih terlindung oleh angin dan berhasil menyalakan lilin. Bocah itu melihat ujung lipatan kardus tersembul dari dalam gerobak kecil di atas kepala lelaki setengah umur itu. Ia berusaha menariknya keluar tanpa menimbulkan suara berisik dan membangunkan lelaki itu. Setelah berhasil, ia membaringkan dirinya yang setengah menggigil karena pakaiannya basah. Merapat pada tubuh lelaki yang memunggunginya itu, sekadar mendapatkan imbasan panas dari tubuh lelaki itu.

Bocah perempuan ingusan itu cepat terlelap dan bermimpi berperahu bersama anjing betina kurus berwarna hitam itu di sebuah danau yang sunyi. Deru mesin mobil yang melintasi jembatan beton di atas mereka justru menimbulkan rasa tenteram, rasa hidup di sebuah kota yang sibuk. Lelaki setengah umur itu juga sedang bermimpi tidur dengan seorang perempuan. Ketika ia membalikkan badannya, ia menangkap erat-erat tubuh bocah yang setengah basah itu dan melanjutkan mimpinya.

Sebelumnya, kolong penurunan jalan layang tol itu cukup padat penghuninya di malam hari. Beberapa anak jalanan yang sehari- hari mengamen di sepanjang jalan bawah, juga bermalam di situ. Ada lima anak jalanan laki-laki yang selalu menjahili bocah perempuan yang selalu membawa krincingan itu sampai menangis berteriak-teriak. Lelaki setengah umur itu membiarkannya saja. Mungkin menurutnya sesuatu yang biasa-biasa saja, meskipun anak-anak lelaki itu sampai-sampai menelanjangi bocah perempuan ingusan itu. Penghuni lain pun tak ada yang berani membela. Sejak itu, bocah perempuan ingusan itu menghilang, entah tidur di mana.

Lelaki setengah umur itu mulai marah ketika suatu hari ia membawa seekor anjing betina kurus berwarna hitam ke markasnya. Mungkin anjing itu kurang sehat hingga semalaman anjing itu terkaing-kaing. Lelaki itu tampak berusaha keras mengobati anjing itu dengan menyuguhkan makanan dan air. Tapi, anak-anak jalanan yang jahil itu melempari anjing itu dengan batu. Salah satu batunya mengenai kepala lelaki itu. Lelaki itu meradang, lalu mengambil golok di dalam timbunan buntelan dalam gerobak kecilnya. Anak-anak itu dikejarnya. Konon salah seorang terluka oleh golok itu. Namun, mereka tak ada yang berani melawan dan tak berani kembali lagi.

SEBELUM subuh, pasukan tramtib itu datang lagi, lengkap dengan polisi dan beberapa truk dengan bak terbuka pengangkut gelandangan. Sebelum matahari muncul, kolong- kolong jembatan dan jalan layang harus bersih dari manusia-manusia kasta paling melata itu. Mimpi lelaki itu tersangkut bersama gerobaknya di atas bak truk. Begitu juga bocah perempuan itu. Lelaki setengah umur itu menggapai-gapaikan tangannya, minta petugas menaikkan anjingnya yang menyalak-nyalak, minta ikut bersama tuannya. Tapi, sebuah pentungan kayu telah mendarat di kepala anjing kurus itu hingga terkaing-kaing, berlari ke seberang jalan dan hilang ditelan kegelapan.

"Mampus kau, anjing kurapan!" sumpah petugas itu sambil melompat ke atas truk yang segera berangkat.
Bak truk terbuka itu nyaris penuh, termasuk tukang rokok di halte dekat situ. Lelaki setengah umur itu tampak geram. Matanya mencorong ke arah petugas yang memegang pentungan. Petugas itu pura-pura tidak melihat. Hujan telah berhenti. Iringan truk yang penuh manusia gelandangan kota yang dikawal mobil polisi bersenjata lengkap di depannya, menuju ke suatu tempat arah ke Utara, dan kemudian membelok ke kanan. Dari pengeras suara di puncak-puncak menara masjid terdengar azan subuh bersahut-sahutan. Bulan semangka tipis masih menggantung di langit, kadang-kadang tertutup awan yang bergerak ke Barat.
BEBERAPA minggu kemudian, pelintas jembatan penyeberangan yang beratap itu, kembali menemukan lelaki setengah umur itu berpraktik di tempat sebelumnya. Ia baru turun mengemasi kaleng peot dan alas kardusnya ketika matahari mulai tergelincir ke Barat. Melangkah dengan pasti, menuju tempat gerobak kecilnya ditambatkan.

Di depan pangkalan truk yang telah menyempitkan jalan, lelaki itu mendorong gerobak kecilnya dengan santai sambil mengawasi puntung-puntung rokok yang masih berapi dilempar sopir-sopir truk ke jalan. Ada yang sengaja melemparkan puntung rokoknya ketika laki- laki bergerobak itu melintas. Di atas gerobaknya, kini bertengger bocah perempuan ingusan itu sambil terus bernyanyi dengan iringan krincingannya. Orang-orang tak ada yang peduli.*

Wajah Malam


Cerita Pendek Adek Alwi

PEREMPUAN yang berdiri di lembah malam, telah bertahun-tahun ia di situ, di bawah lampu jalan yang dingin beku. Ia bukan wanita malam walau tiap malam di tempat itu. Tidak semua perempuan yang terlihat di jalan di malam hari adalah wanita malam. Jadi bila kau lelaki iseng jangan sekali-kali merayu. Ia tidak akan marah atau memakimu, tapi tetap beku bak lampu jalan dan tiang listrik yang dingin itu. Dan kau pun jadi bosan, lalu meninggalkannya, mungkin sambil menggerutu.

Tak ada yang tahu siapa namanya; jangan-jangan ia sendiri pun sudah lupa. Di mana dia tinggal, tidak ada yang tahu. Pedagang rokok yang berkios dekat tiang listrik hanya melihat dia muncul di ambang malam dari mulut gang yang bermuara ke jalan itu. Lalu lenyap lagi di mulut gang bersama kabut dini hari. Antara ambang malam dan dini hari tidak sekalipun dia sudi didekati lelaki. Banyak yang merayu, dia tetap diam membeku.

"Lalu untuk apa dia di situ?" tanya lelaki muda itu kepada pedagang rokok.
"Menunggu anak dan suaminya."
"Ke mana anak dan suaminya?"
"Disembunyikan malam."
"Disembunyikan malam? Apa maksudmu?"
"Entah," jawab pedagang rokok. "Coba saja dengar jika dia bersuara."
Lelaki muda itu penasaran, ingin tahu. Ia bukanlah lelaki iseng pencari wanita malam. Ia terjun ke lembah malam --pertama kalinya malam itu-- justru karena pusing menghadapi perempuan.

Gadis yang dipacarinya mendesak kawin. Gadis itu tak sabar lagi menunggu, karena ayahnya semakin sering batuk-batuk dan ingin sekali punya cucu. "Cepat, cepatlah kau menikah!" pinta ayah gadis itu. "Aku ingin melihat cucu. Melihat turunanku, sebelum maut itu menjemput!" Lalu lelaki tua itu menunjuk ke sudut kamar.
Gadis itu menangis. Ia memang gadis yang malang . Dua kakaknya mati di usia muda. Ibunya wafat saat ia 12 tahun. Sejak itu ayahnya jadi murung; khawatir tak memiliki cucu, atau tidak akan melihat garis turunannya berlanjut. Lelaki muda itu paham kecemasan si calon mertua. Tapi, baginya, perkawinan bukan perkara sederhana. Dia merasa belum punya apa-apa. Dia ingin mapan sebelum berrumah tangga. "Tapi kau sudah punya mobil," kata pacarnya.

"Tidak cukup," balas lelaki muda itu. "Biar aku punya rumah dulu. Aku ingin membahagiakanmu dengan sebuah rumah."
"Aku sudah bahagia bila kau mengawiniku. Melahirkan anakmu."
"Itu bukan kebahagiaanmu. Kebahagiaan ayahmu."
"Aku pun bahagia membahagiakan ayah."
Lelaki muda itu ketawa, lalu terhenti waktu pacarnya menatap. Baru kali itu ia lihat gadis yang lembut dan cantik itu bermata demikian. Tajam. Mengiris. "Ternyata, kau sama saja dengan pemuda lain!" ucap gadis itu mendesis.
"A-apa maksudmu?" Lelaki muda itu tergagap, bagai terjerembab.
"Egois. Kau bukan ingin membahagiakanku dengan sebuah rumah. Kau ingin membangun kebanggaanmu dengan memiliki rumah!"
"Tidak. Bukan begitu."
"Begitu yang kumaknai!" potong si gadis. "Bagimu, bahagia adalah memenuhi ambisi pribadi. Kita berbeda. Sebab bagiku, bahagia adalah menjadi cahaya bagi yang lain. Membuat orang lain merasa bahagia." Lalu gadis itu pergi, meninggalkan lelaki muda itu sendiri, disergap kebingungan dan hati yang gundah.

LELAKI muda itu meninggalkan penjual rokok. Seperti biasa, perempuan itu tidak bereaksi didekati. Matanya tetap lurus ke depan, memandang malam. Wajah dan tubuhnya elok. Usianya tak muda lagi, tapi pasti belum 40. Kulitnya bersih. Dia masih menggoda bagi lelaki, apalagi malam hari. Tetapi malam tidak selalu berselimut hitam kejahatan. Malam juga misteri. Bagai rimba, malam pun menyimpan berbagai hikmah bagi yang mau mencari; tak melulu membuat orang tersesat ataupun berubah menjadi buas.

Dan laki-laki muda itu pura-pura kencing di sisi trotoar, memunggungi jalan, serta perempuan itu. Pundaknya lengkung di bawah lampu jalan maupun sinar bulan dari langit yang berkabut. Angin bertiup. Dingin menyusup. Lalu didengarnya perempuan itu berkata, lembut dan lirih, seperti pada diri sendiri. "Anakku, o... di mana kau gerangan? Suamiku.... Di mana kalian disembunyikan malam?" Dan ia tetap berdiri memandang malam, menanti. Tak ada jawaban. Terdengar lagi ia berucap: "Sudah bertahun-tahun, lama sekali. Anakku. Suamiku...."

Lelaki muda itu terpana, mencerna yang didengarnya.
Keesokan malam, juga esok dan esoknya, ia kem- bali terjun ke lembah malam. Pacarnya tak bersedia dihubungi. "Buat apa lagi, nyata sudah pandangan kita berbeda."
"Tapi aku ingin menjelaskan," kata lelaki muda itu. "Beri aku waktu...."
"Percuma," balas pacarnya. "Bahkan ayahku kini sekarat. Ambil jalan sendiri-sendiri saja, sesuai prinsip masing-masing tentang kebahagiaan."

Perempuan itu masih dilihatnya berdiri di bawah lampu jalan, seperti kemarin malam dan kemarinnya. Laki-laki muda itu terus memperhatikan. "Tampaknya Om tertarik benar, ya!" tegur pedagang rokok.
"Ya."
"Dekati lagi saja! Siapa tahu mau. Si Om masih muda. Mungkin dia...."
Lelaki muda itu tidak ingin mendengar terusannya. Penjual rokok itu tak akan mengerti. Baginya malam mungkin lazim tampil bermantel hitam kejahatan. Mungkin dari kios rokok itu sering ia saksikan hal-hal mengenaskan, yang membuat malam jadi buruk mengerikan.

Laki-laki muda itu mendekat lagi. Menyapa. Bukan merayu. Juga bertanya. Perempuan itu diam, membeku. Matanya lurus memandang malam, sikapnya seolah menunggu. Dan bila lelaki muda itu bergeser menjauh didengarnya perempuan itu kembali berkata, lembut dan lirih, seperti kemarin malam. "Anakku... o sudah begitu lama. Suamiku... lama sekali. Di mana kalian disembunyikan malam? Di mana...."

Lelaki muda itu terpana, dadanya gemuruh. Lalu didengarnya lagi bisik-bisik lirih itu. Begitu jelas, di tengah sunyi jalan, bulan yang pucat. "Anakku... suamiku... berilah isyarat dari sana, entah di mana... bahwa kalian bahagia." Angin bertiup. Laki-laki muda itu merapatkan jaket, terus mendengar, hatinya berdebar-debar.
"Kirimlah tanda, Nak. Buat Ibu. Suamiku... berilah aku isyarat. Bagiku, kini, tak mengapa lagi bila kalian tak dikembalikan malam... asal bahagia di sana. Deritaku pupus bila kalian bahagia. Bahagiaku tumbuh jika kalian bahagia.... Anakku, kirimlah tanda...."

Lelaki muda itu tertegak. Beku tidak bergerak. Angin malam masih mengirim dingin. Jalanan sunyi. Bulan semakin pucat di langit yang berkabut.

PEREMPUAN yang berdiri di lembah malam, telah bertahun-tahun dia di situ, di bawah tiang listrik dan lampu jalan yang beku. Dia bukan wanita malam walau tiap malam di tempat itu. Karena itu, jangan kau rayu. Tak setiap perempuan yang terlihat di jalan pada malam hari adalah wanita malam. Perempuan itu sedang mencari. Juga menunggu. "Berilah jawaban... kirimlah tanda...," ucapnya lirih. Tidak ada jawaban, atau tanda. Sudah bertahun-tahun. Dan dia tetap di situ. Menunggu. Berkata-kata lirih kepada malam, kecuali bila hujan.
Suatu malam, sebuah mobil berhenti di sisi jalan itu. Lelaki muda itu terlihat lagi, setelah berbulan-bulan tidak ke tempat itu. Dia sekarang bersama seorang wanita muda, perutnya membukit hamil muda. Dia sudah menikah. Beberapa bulan berselang dengan nekat dia temui pacarnya. "Maafkan aku," ia bilang. "Kau benar, aku memang egois. Sekarang mari kita menikah. Beri tahu ayahmu."

"Mengapa kau berubah?"
"Mataku kini terbuka. Aku telah mendapat pelajaran yang sangat berharga."
"Dari siapa?"
"Dari seorang perempuan di larut malam."
Mata gadis itu berkilat bertanya-tanya. "Jangan berpikir yang tidak-tidak," ujar lelaki muda itu, lalu bercerita. Mata gadis itu jadi berkaca-kaca. "Kapan-kapan kuajak kau menemuinya," kata lelaki muda itu. "Ia perempuan mulia, sepertimu."
"Berjanjilah akan membawaku."
"Aku janji!" ujar lelaki muda itu. "Ia berhak bahagia. Dari dia, dan malam aku banyak belajar. Sekarang mari menikah. Beri tahu ayahmu. Aku akan melamarmu!"

Mereka menikah. Ketika perempuan muda itu hamil, ayahnya meninggal. Tapi lelaki tua itu tersenyum menyongsong ajal. "Jangan menangis," katanya. "Aku justru bahagia. Kau akan melahirkan cucuku. Kau, juga suamimu, telah membahagiakanku." Namun pasangan muda itu tetap menangis.
Kini mereka berdiri dekat mobil. "Aku saja menemuinya," bisik perempuan muda itu. Suaminya setuju. "Rapatkan mantelmu," dia bilang. "Banyak angin."

Perempuan muda itu merapatkan jaket, mendekat. Lapat-lapat didengarnya bisik lirih perempuan itu, di bawah tiang listrik. Dan perempuan muda itu tiba-tiba berucap: "Ibu, akulah tanda, akulah isyarat!"
Perempuan itu menoleh, terkesima.

"Aku tahu siapa Ibu. Siapa Ibu tunggu. Suamiku telah bercerita. Mari ikut aku, Ibu. Tak baik di jalanan malam-malam. Banyak angin di luar."
Perempuan itu masih menatap. Matanya membulat melihat seorang perempuan muda mendekat. Dengan perut buncit hamil muda, suara lembut. Sekonyong- konyong matanya gabak. Lalu pecah menjadi hujan. Dan malam terus mengirim dingin. Bulan pucat, berlayar di langit penuh kabut

Percintaan Kepompong


Cerita Pendek Adek Alwi

PEREMPUAN yang berdiri di lembah malam, telah bertahun-tahun ia di situ, di bawah lampu jalan yang dingin beku. Ia bukan wanita malam walau tiap malam di tempat itu. Tidak semua perempuan yang terlihat di jalan di malam hari adalah wanita malam. Jadi bila kau lelaki iseng jangan sekali-kali merayu. Ia tidak akan marah atau memakimu, tapi tetap beku bak lampu jalan dan tiang listrik yang dingin itu. Dan kau pun jadi bosan, lalu meninggalkannya, mungkin sambil menggerutu.

Tak ada yang tahu siapa namanya; jangan-jangan ia sendiri pun sudah lupa. Di mana dia tinggal, tidak ada yang tahu. Pedagang rokok yang berkios dekat tiang listrik hanya melihat dia muncul di ambang malam dari mulut gang yang bermuara ke jalan itu. Lalu lenyap lagi di mulut gang bersama kabut dini hari. Antara ambang malam dan dini hari tidak sekalipun dia sudi didekati lelaki. Banyak yang merayu, dia tetap diam membeku.

"Lalu untuk apa dia di situ?" tanya lelaki muda itu kepada pedagang rokok.
"Menunggu anak dan suaminya."
"Ke mana anak dan suaminya?"
"Disembunyikan malam."
"Disembunyikan malam? Apa maksudmu?"
"Entah," jawab pedagang rokok. "Coba saja dengar jika dia bersuara."
Lelaki muda itu penasaran, ingin tahu. Ia bukanlah lelaki iseng pencari wanita malam. Ia terjun ke lembah malam --pertama kalinya malam itu-- justru karena pusing menghadapi perempuan.

Gadis yang dipacarinya mendesak kawin. Gadis itu tak sabar lagi menunggu, karena ayahnya semakin sering batuk-batuk dan ingin sekali punya cucu. "Cepat, cepatlah kau menikah!" pinta ayah gadis itu. "Aku ingin melihat cucu. Melihat turunanku, sebelum maut itu menjemput!" Lalu lelaki tua itu menunjuk ke sudut kamar.
Gadis itu menangis. Ia memang gadis yang malang . Dua kakaknya mati di usia muda. Ibunya wafat saat ia 12 tahun. Sejak itu ayahnya jadi murung; khawatir tak memiliki cucu, atau tidak akan melihat garis turunannya berlanjut. Lelaki muda itu paham kecemasan si calon mertua. Tapi, baginya, perkawinan bukan perkara sederhana. Dia merasa belum punya apa-apa. Dia ingin mapan sebelum berrumah tangga. "Tapi kau sudah punya mobil," kata pacarnya.

"Tidak cukup," balas lelaki muda itu. "Biar aku punya rumah dulu. Aku ingin membahagiakanmu dengan sebuah rumah."
"Aku sudah bahagia bila kau mengawiniku. Melahirkan anakmu."
"Itu bukan kebahagiaanmu. Kebahagiaan ayahmu."
"Aku pun bahagia membahagiakan ayah."
Lelaki muda itu ketawa, lalu terhenti waktu pacarnya menatap. Baru kali itu ia lihat gadis yang lembut dan cantik itu bermata demikian. Tajam. Mengiris. "Ternyata, kau sama saja dengan pemuda lain!" ucap gadis itu mendesis.
"A-apa maksudmu?" Lelaki muda itu tergagap, bagai terjerembab.
"Egois. Kau bukan ingin membahagiakanku dengan sebuah rumah. Kau ingin membangun kebanggaanmu dengan memiliki rumah!"
"Tidak. Bukan begitu."
"Begitu yang kumaknai!" potong si gadis. "Bagimu, bahagia adalah memenuhi ambisi pribadi. Kita berbeda. Sebab bagiku, bahagia adalah menjadi cahaya bagi yang lain. Membuat orang lain merasa bahagia." Lalu gadis itu pergi, meninggalkan lelaki muda itu sendiri, disergap kebingungan dan hati yang gundah.

LELAKI muda itu meninggalkan penjual rokok. Seperti biasa, perempuan itu tidak bereaksi didekati. Matanya tetap lurus ke depan, memandang malam. Wajah dan tubuhnya elok. Usianya tak muda lagi, tapi pasti belum 40. Kulitnya bersih. Dia masih menggoda bagi lelaki, apalagi malam hari. Tetapi malam tidak selalu berselimut hitam kejahatan. Malam juga misteri. Bagai rimba, malam pun menyimpan berbagai hikmah bagi yang mau mencari; tak melulu membuat orang tersesat ataupun berubah menjadi buas.

Dan laki-laki muda itu pura-pura kencing di sisi trotoar, memunggungi jalan, serta perempuan itu. Pundaknya lengkung di bawah lampu jalan maupun sinar bulan dari langit yang berkabut. Angin bertiup. Dingin menyusup. Lalu didengarnya perempuan itu berkata, lembut dan lirih, seperti pada diri sendiri. "Anakku, o... di mana kau gerangan? Suamiku.... Di mana kalian disembunyikan malam?" Dan ia tetap berdiri memandang malam, menanti. Tak ada jawaban. Terdengar lagi ia berucap: "Sudah bertahun-tahun, lama sekali. Anakku. Suamiku...."

Lelaki muda itu terpana, mencerna yang didengarnya.
Keesokan malam, juga esok dan esoknya, ia kem- bali terjun ke lembah malam. Pacarnya tak bersedia dihubungi. "Buat apa lagi, nyata sudah pandangan kita berbeda."
"Tapi aku ingin menjelaskan," kata lelaki muda itu. "Beri aku waktu...."
"Percuma," balas pacarnya. "Bahkan ayahku kini sekarat. Ambil jalan sendiri-sendiri saja, sesuai prinsip masing-masing tentang kebahagiaan."

Perempuan itu masih dilihatnya berdiri di bawah lampu jalan, seperti kemarin malam dan kemarinnya. Laki-laki muda itu terus memperhatikan. "Tampaknya Om tertarik benar, ya!" tegur pedagang rokok.
"Ya."
"Dekati lagi saja! Siapa tahu mau. Si Om masih muda. Mungkin dia...."
Lelaki muda itu tidak ingin mendengar terusannya. Penjual rokok itu tak akan mengerti. Baginya malam mungkin lazim tampil bermantel hitam kejahatan. Mungkin dari kios rokok itu sering ia saksikan hal-hal mengenaskan, yang membuat malam jadi buruk mengerikan.

Laki-laki muda itu mendekat lagi. Menyapa. Bukan merayu. Juga bertanya. Perempuan itu diam, membeku. Matanya lurus memandang malam, sikapnya seolah menunggu. Dan bila lelaki muda itu bergeser menjauh didengarnya perempuan itu kembali berkata, lembut dan lirih, seperti kemarin malam. "Anakku... o sudah begitu lama. Suamiku... lama sekali. Di mana kalian disembunyikan malam? Di mana...."

Lelaki muda itu terpana, dadanya gemuruh. Lalu didengarnya lagi bisik-bisik lirih itu. Begitu jelas, di tengah sunyi jalan, bulan yang pucat. "Anakku... suamiku... berilah isyarat dari sana, entah di mana... bahwa kalian bahagia." Angin bertiup. Laki-laki muda itu merapatkan jaket, terus mendengar, hatinya berdebar-debar.
"Kirimlah tanda, Nak. Buat Ibu. Suamiku... berilah aku isyarat. Bagiku, kini, tak mengapa lagi bila kalian tak dikembalikan malam... asal bahagia di sana. Deritaku pupus bila kalian bahagia. Bahagiaku tumbuh jika kalian bahagia.... Anakku, kirimlah tanda...."

Lelaki muda itu tertegak. Beku tidak bergerak. Angin malam masih mengirim dingin. Jalanan sunyi. Bulan semakin pucat di langit yang berkabut.

PEREMPUAN yang berdiri di lembah malam, telah bertahun-tahun dia di situ, di bawah tiang listrik dan lampu jalan yang beku. Dia bukan wanita malam walau tiap malam di tempat itu. Karena itu, jangan kau rayu. Tak setiap perempuan yang terlihat di jalan pada malam hari adalah wanita malam. Perempuan itu sedang mencari. Juga menunggu. "Berilah jawaban... kirimlah tanda...," ucapnya lirih. Tidak ada jawaban, atau tanda. Sudah bertahun-tahun. Dan dia tetap di situ. Menunggu. Berkata-kata lirih kepada malam, kecuali bila hujan.
Suatu malam, sebuah mobil berhenti di sisi jalan itu. Lelaki muda itu terlihat lagi, setelah berbulan-bulan tidak ke tempat itu. Dia sekarang bersama seorang wanita muda, perutnya membukit hamil muda. Dia sudah menikah. Beberapa bulan berselang dengan nekat dia temui pacarnya. "Maafkan aku," ia bilang. "Kau benar, aku memang egois. Sekarang mari kita menikah. Beri tahu ayahmu."

"Mengapa kau berubah?"
"Mataku kini terbuka. Aku telah mendapat pelajaran yang sangat berharga."
"Dari siapa?"
"Dari seorang perempuan di larut malam."
Mata gadis itu berkilat bertanya-tanya. "Jangan berpikir yang tidak-tidak," ujar lelaki muda itu, lalu bercerita. Mata gadis itu jadi berkaca-kaca. "Kapan-kapan kuajak kau menemuinya," kata lelaki muda itu. "Ia perempuan mulia, sepertimu."
"Berjanjilah akan membawaku."
"Aku janji!" ujar lelaki muda itu. "Ia berhak bahagia. Dari dia, dan malam aku banyak belajar. Sekarang mari menikah. Beri tahu ayahmu. Aku akan melamarmu!"

Mereka menikah. Ketika perempuan muda itu hamil, ayahnya meninggal. Tapi lelaki tua itu tersenyum menyongsong ajal. "Jangan menangis," katanya. "Aku justru bahagia. Kau akan melahirkan cucuku. Kau, juga suamimu, telah membahagiakanku." Namun pasangan muda itu tetap menangis.
Kini mereka berdiri dekat mobil. "Aku saja menemuinya," bisik perempuan muda itu. Suaminya setuju. "Rapatkan mantelmu," dia bilang. "Banyak angin."

Perempuan muda itu merapatkan jaket, mendekat. Lapat-lapat didengarnya bisik lirih perempuan itu, di bawah tiang listrik. Dan perempuan muda itu tiba-tiba berucap: "Ibu, akulah tanda, akulah isyarat!"
Perempuan itu menoleh, terkesima.

"Aku tahu siapa Ibu. Siapa Ibu tunggu. Suamiku telah bercerita. Mari ikut aku, Ibu. Tak baik di jalanan malam-malam. Banyak angin di luar."
Perempuan itu masih menatap. Matanya membulat melihat seorang perempuan muda mendekat. Dengan perut buncit hamil muda, suara lembut. Sekonyong- konyong matanya gabak. Lalu pecah menjadi hujan. Dan malam terus mengirim dingin. Bulan pucat, berlayar di langit penuh kabut